Blog Archive

Powered by Blogger.
Tuesday, June 11, 2013
Pauw-sie bertepuk tangan sambil tertawa. "Sungguh anjing yang tahu diri!" katanya.
"Memang anjing yang sangat tahu diri!" sahut Siauw Thian. " Setelah menggonggong, dia muncul dari semak-semak itu! Enso tahu, anjing apakah itu?
Dialah Tio Tayjin, residen kita!"

Pauw-sie menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Tiat Sim dan Siauw Thian pun tertawa.
Mereka minum terus hingga terlihat salju turun makin lebat.
"Nanti aku undang enso minum bersama,!" kata Pauw-sie kemudian.
"Tidak usah," Siauw Thian mencegah. "Selama beberapa hari ini, dia merasa kurang sehat...."
Pauw-sie terkejut, "Ah, mengapa aku tidak tahu!" katanya. "Nanti aku tengok!"
Siauw Thian tidak bilang apa-apa lagi, dia malah tersenyum. Menampak hal itu, legalah hati Tiat Sim. Itu artinya nyonya Kwee tidak berat sakitnya. Tak lama, nyonya Yo kembali sambil tersenyum-senyum. Ia isikan satu cawan, lalu mengansurkan cawan itu kepada suaminya.
"Lekas minum sampai habis!" katanya. "Inilah tanda hormat kepada Toako!"
"Eh, apakah artinya ini?" tanya Tiat Sim tidak mengerti.
"Minum, lekas minum!" desak Pauw-sie. "Habis minum nanti baru aku beri
keterangan!" katanya kemudian.
Tiat Sim lalu meminum kering cawan itu.
"Nah, Toako, kau biacaralah sendiri!" kata Pauw-sie sambil tertawa kepada
Siauw Thian.
Orang she Kwee itu tersenyum dan berkata, "Selama sebulan ini dia senantiasa mengeluh pinggangnya pegal dan sakit. Baru kemarin dia pergi ke Thio Ie-seng di dalam kota, kata tabib itu dia sudah mengandung selama tiga bulan...."
Tiat Sim menjadi girang sekali. "Kiong hie, Toako!" katanya sambil memberi selamat.
Lalu ketiganya meneguk arak mereka, masing-masing tiga cawan. Tentu saja dengan meminum sebanyaknya itu, sedikitnya arak itu telah mempengaruhi mereka.
Pada saat itu di arah timur kelihatan satu tosu atau imam sedang mendatangi.
Dia memakai tudung bambu dan tubuhnya di tutupi dengan baju rumput, yang seluruhnya penuh dengan salju. Ia bertindak dengan tegap dan cepat. Segera  tertampak di punggungnya ada tergantung sebatang pedang, yang roncenya kuning dan memain di antara tiupan angin yang keras.
"Adik, imam ini pasti mengerti ilmu silat," Siauw Thian bilang. "Entah dari mana dia datang. Coba kita dapat berkenalan dengannya. Sayang kita belum tahu namanya..........."
"Benar," sahut Tiat Sim. "Baik kita undang dia minum untuk ikat persahabatan......"
Keduanya segera berbangkit dan pergi keluar. Ketika itu karena cepat
jalannya, si imam sudah lewat beberapa puluh tombak.
Siauw Thian dan Tiat Sim saling melihat dengan herannya. "Totiang, tunggu sebentar!" Tiat Sim segera memanggil.
Cepat sekali si imam memutar tubuh dan mengangguk.
"Salju turun dengan lebatnya dan hawa pun sangat dingin," kata Tiat Sim
pula, "Sudilah Totiang mampir untuk minum beberapa cawan guna melawan hawa dingin."
Iman itu menyahuti dengan tertawa dingin, lalu ia bertindak menghampir - cepat sekali tindakannya.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sangat terperanjat dan heran guna menyaksikan muka orang yang berwajah sangat dingin sekali.
"Kamu pandai bergaul, eh!" katanya tawar
Tiat Sim masih muda dan dia tidak senang dengan sikap orang. "Dengan baik
hati aku mengundang kau minum, kenapa kau begini tidak tahu aturan?"
pikirnya. Maka ia menjadi diam saja.
Siauw Thian sebaliknya lantas memberi hormat. "Totiang, harap anda tidak
marah dengan sikap saudaraku ini. "Kami sedang minum arak, melihat Totiang
melawan salju, dia besarkan nyali untuk mengundang Totiang minum bersama...."
Imam itu memutar matanya. "Baik,baik!" katanya. "Minum arak ya minum arak!"
Dan dengan tindakan lebar ia menuju ke dalam. Tiat Sim merasa dongkol, ia ulurkan tangannya hendak mencekal tangan kiri si imam untuk ditarik ke samping. "Aku belum belajar kenal dengan Totiang!" katanya. Tapi tiba-tiba ia merasa kaget. Ia merasai tangan orang sangat licin. Ketika ia berniat menarik pulang tangannya, tahu-tahu tangan itu bagaikan terjepit dengan keras, rasanya sakit dan panas. Ia kerahkan

Tentang Penulis

walkeduwal
Kalisoka, Slawi, Tegal, Jawa Tengah, Indonesia
View my complete profile